Senin, 17 Maret 2008

Menjadikan Agama Sebagai Mantra Sakti

Bagi Perubahan Sosial


Dr. Sukamto



Dalam ranah ilmu Sosiologi topik tentang peran agama atau sistem kepercayaan sebagi mantra bagi transformasi sosial merupakan salah satu topik yang cukup santer dibicarakan. Kontroversi apakah agama dapat menjadi faktor penentu bagi transformasi masyarakat atau sebaliknya justru budaya dan perubahan-perubahan dalam masyarakat menjadi penentu bagi agama telah cukup lama dibicarakan. Debat seru tentang topik ini paling tidak diwakili oleh dua tokoh Sosiologi yaitu: Karl Marx dan Max Weber.

Karl Marx, kritikus tajam terhadap agama mengatakan bahwa pada dasarnya semua kebudayaan manusia dapat dibagi ke dalam dua kategori yaitu: real, atau material (khususnya ekonomi), dan ideal atau non-material misalnya hukum, filsafat, dan agama (Robertson 1977:414). Hal yang bersifat materi-lah yaitu ekonomi yang oleh Marx dianggap dapat menyebabkan perubahan dalam masyarakat:

Dalam Communist Manifesto Marx menyatakan bahwa perubahan masyarakat terjadi karena ada perubahan ide tentang materi. Dalam hal itu Marx menganggap factor ekonomi sebagai suatu daya penggerak utama dari sejarah. Keadaan ekonomilah yang sesungguhnya mengubah segala sesuatu, termasuk pandangan terhadap materi (Soeropati 1995:59).

Lebih lanjut bagi Marx agama hanya merupakan rintihan dari mahkluk-mahkluk yang tertindas, perasaan dari dunia yang tidak berperasaan, sebagaimana suatu roh dari situasi yang tak berjiwa maka agama merupakan candu masyarakat (the opium of the people). Seperti yang diungkapkan oleh Arief Budiman (1996:35-36):

“Sudah menjadi rahasia umum bahwa kebanyakan tokoh-tokoh agama di dunia ini berpikir secara normatif, dan menekankan prioritas pada kehidupan di alam baka. Dalam menghadapi ke­miskinan di dunia, mereka memang beranggapan bahwa ini adalah ketidak­adilan. Akan tetapi, yang mereka lakukan biasanya adalah menyuruh orang untuk tawakal, pasrah, sambil menekankan bahwa keadilan yang abadi akan mereka dapatkan di akhirat nanti.

Dengan agama diciptakan mitos-mitos yang selalu membenarkan posisi para penguasa. Sehingga agama justru sering menghambat perubahan dan lebih sering dijadikan alat bagi para penguasa dan pemilik modal untuk melanggengkan kekuasaannya. Dalam sejarah Gereja kita dapat belajar setelah dikeluarkannya Edik Milano oleh Kaisar Konstantinus Agung (Kristen diakui sebagai agama negara) kekuatan agama (baca: Kristen) sebagai pembaharu atau kritik menjadi mati. Agama lebih sering dijadikan alat politis untuk tujuan-tujuan yang menguntungkan negara. Agama hanya dijadikan alat untuk mendukung penguasa dan melegemitasi kekuasaan pihak penguasa dan opressor. Pada satu sisi ini kita bisa melihat bahwa agama memang bisa menghambat bagi proses perubahan sosial.

Marx Weber mempunyai pandangan yang berbeda dengan Marx. Weber menjelaskan bahwa tanpa Reformasi Protestan, the modern Western capitalism tidak akan pernah berkembang. Itu berarti menurut dia ada kaitan yang erat antara nilai-nilai Reformasi Protestan dengan perkembangan modern Western capitalism. Pembuktian dari hipotesis ini kemudian diterbitkan dengan judul The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (Die Protestantische Ethik und der Geist des Kapitalismus) pertama kali diterbitkan dalam Archiv für Sozialwissenschaft und Sozialpolitik Volume XX dan XXI tahun 1904-1905. Diterbitkan lagi pada tahun 1920 sebagai kajian pertama dari rangkaian karya yang ambisius Gesammelte Aufsätze zur Religionssoziologie tidak terselesaikan karena kematiannya.

Weber menjelaskan bahwa, “the fact that business leaders and owners of capital, as well as the higher grades of skilled labour, and even more the higher technically and commercially trained personel of modern enterprises, are overwhelmingly Protestant” (1930:35). Ini sangat berbeda dengan orang Katholik, bahkan di antara mereka yang lulus perguruan tinggi yang menyiapkan untuk kehidupan bisnis kelas menengah jumlahnya masih kalah jauh dengan persentase orang Protestan (Weber 1930:38). Menurut Weber karena orang Katholik mempunyai keinginan yang lebih kecil untuk memperoleh sesuatu. Seperti ada pepatah “memilih makan enak atau tidur enak” dalam hal ini orang Protestan akan lebih suka makan enak dan orang Katholik lebih suka tidur tanpa terusik (Weber 1930:40-41). Perbedaan ini menurut Weber perlu dicari dalam karakter intrinsik permanen dari kepercayaan keagamaan mereka, dan tidak hanya pada situasi historis-politis eksternal belaka.

Menurut Weber yang dimaksud dengan semangat Kapitalisme adalah sikap yang mencari profit secara rasional dan sistematis. Dimana sikap ini didasari atas konsep panggilan dalam teologi Luther yaitu bahwa kerja dalam aspek panggilan merupakan suatu tugas yang digariskan Tuhan. Konsepsi mengenai panggilan ini kemudian menghasilkan suatu dogma sentral dari seluruh kelompok umat Protestan yang menyumbangkan signifikansi keagamaan dalam aktivitas duniawi sehari-hari terutama tentang kerja, mencari untung dan penggunaan uang (capital) (Weber 1930).

Weber menemukan sumber-sumber semangat Kapitalisme ini secara umum dalam Protestantisme terutama Calvinisme dan Puritanisme. Dalam Calvinisme doktrin yang pada umumnya dianggap paling mendasar adalah predestinasi. Agar dapat memperoleh kepercayaan diri atas predestinasi itu aktivitas duniawi yang hebat diusulkan sebagai sarana yang paling sesuai untuk menghilangkan keragu-raguan keagamaan dan memberi kepastian akan persoalan rahmat (state of grace). Maka betapapun tiada artinya perbuatan baik sebagai sarana untuk mencapai keselamatan, namun perbuatan itu sangat diperlukan sebagai suatu tanda pemilihan (electi). Bahkan bagi Calvinis, menurut Weber Tuhan tidak hanya menuntut umatnya sebuah perbuatan baik, tetapi menuntut satu kehidupan yang dipenuhi dengan perbuatan baik yang dipadukan ke dalam satu sistem yang menyatu. Sebab hanya dengan suatu perubahan fundamental di dalam makna keseluruhan dari kehidupan pada setiap waktu dan pada setiap tindakan atau perilaku, maka pengaruh rahmat (grace) yang mentransformasikan manusia dari status naturae menuju status gratiae dapat dibuktikan. Beberapa ajaran-ajaran Protestantisme yang berpengaruh terhadap elemen-elemen fundamental kapitalisme modern adalah:

1. Kerja - istirahat bagi orang suci adalah di dunia nanti, sedangkan bagi manusia di bumi supaya yakin akan state of grace-nya harus mengerjakan suatu pekerjaan dari Dia yang mengutusnya. Hanya aktivitas yang bisa meningkatkan kemuliaan Tuhan. Membuang-buang waktu merupakan dosa pertama dan dosa yang mematikan. Seperti yang dikatakan oleh Paulus “mereka yang tidak bekerja tidak berhak mendapat makan” termasuk orang kaya meskipun sudah bisa hidup dengan kekayaannya, karena ketidakmauan bekerja dilihat sebagai gejala berkurangnya kemungkinan untuk memperoleh rahmat (Weber 1930:156-162).

2. Mencari untung - memanfaatkan segala keuntungan dari setiap kesempatan yang ada. Jika Tuhan menunjukkan dengan jalan yang syah untuk mencapai hasil yang lebih banyak, dibanding dengan jalan lain tetapi kesempatan itu tidak digunakan ini dianggap telah menolak untuk menerima anugerahNya. Kekayaan tidaklah baik jika itu menyebabkan sikap malas (Weber 1930:162).

3. Penggunaan uang - setiap orang harus bertanggung jawab terhadap setiap uang yang dipercayakan kepadanya seperti dalam perumpamaan seorang pelayan (Weber 1930:163).

4. Pada sisi produksi kekayaan pribadi, askese menyalahkan baik ketidakjujuran dan keserakahan impulsif. Ketamakan, mammonisme itu hanya usaha menjadi kaya demi diri sendiri (Weber 1930:163).

Kajian Weber ini kemudian menjadi inspirasi bagi peneliti-peneliti lain misalnya: Eernst Troeltsch, Robert N. Bellah, Clifford Geertz, Lance Castles, dan Irwan Abdullah. Dari kajian-kajian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa agama mempunyai peran dalam perubahan sosial. Kesimpulannya adalah bahwa agama seumpama pisau bisa bermata dua. Pertama, sebagai pisau yang tumpul yaitu justru bisa menjadi penghambat bagi perubahan sosial dan yang kedua, sebagai pisau yang tajam mampu membedah kebuntuan sosial yang akhirnya bisa menjadi pendorong bagi perubahan sosial. Pertanyaannya adalah apakah faktor penentu bagi agama sehingga institusi ini mampu menjadi pendorong bagi perubahan sosial?

Faktor penentunya adalah ajaran (teologi) yang dikembangkan oleh sebuah institusi agama. Ketika teologi dari sebuah institusi agama dijauhkan dari persoalan pelik dunia dan hanya dikhususkan untuk kepentingan surga maka agama hanya dijadikan sebagai semacam sebuah halte bus, sebagai tempat untuk menunggu jemputan ke surga. Jika situasinya seperti ini maka agama tidak akan menjadi sumber inspirasi bagi perubahan sosial.

Ajaran teologi merupakan hasil dari proses sebuah penafsiran atas teks suci yang menggunakan sebuah ilmu disebut Hermeneutika. Namun proses dalam penafsiran akan sangat dipengaruhi oleh paradigma berpikir sebagai pre-posisi. Pre-posisi ini sangat menentukan hasil tafsir. Apakah hasil tafsir atas kitab suci dapat dijadikan sebagai mantra bagi perubahan sosial atau tidak sangat tergantung pada pre-posisi yang dipegang oleh si penafsir (Lihat Bagan 1). Maksudnya kalau si penafsir melihat bahwa teks suci-nya hanya berurusan dengan masalah surga maka ada kecenderungan hasil tafsir orientasinya menyiapkan umatnya untuk negeri yang di atas, namun jika si penafsir melihat teks suci berkaitan baik dengan dunia pada masa kini maupun dunia pada masa mendatang maka hasil tafsir-nya akan menyiapkan umatnya untuk menghadapi dunia kini dan dunia yang akan datang.



Bagan 1

Proses Berteologi

Pre-posisi seperti apa yang perlu diubah? Di bawah ini diajukan dua hal berkaitan pre-posisi yang perlu diubah yaitu:

1. Pandangan Dunia Yang Dikotomis

Ada sebuah opini yang berkembang dalam masyarakat Kristen bahwa tugas untuk menyelesaikan masalah-masalah yang muncul dalam masyarakat bukanlah tugas bagi gereja, karena gereja hanya berhubungan dengan masalah-masalah rohani saja. Ini terjadi karena gereja sangat dipengaruhi oleh cara pandang yang dikotomis tentang dunia. Pan­dangan yang menekankan tentang eksistensi dua alam yang independen, terpisah, tidak dapat direduksi bahkan alam atas lebih baik daripada alam bawah me­rupakan pandangan dualisme.

Impli­kasi praktis bagi gereja yang terpengaruh (sadar maupun tidak sadar) pandangan ini adalah mem­perlakukan realitas-realitas materi dengan masa bodoh, acuh tak acuh bahkan malah membencinya. Se­hingga masalah memperjuangkan keadilan, mengentaskan kemiskin­an, penyelesaian konflik-konflik so­sial bukan menjadi tanggung jawab gereja. Gereja hanya menekankan prioritas pada kehidupan di alam baka.

Pandangan dikhotomis ini muncul karena manusia cenderung memisahkan realitas yang dipandangnya menjadi dua kelompok kategorial kualitatif yang berbeda satu sama lain. Ada realitas yang dipandang superior dan realitas yang dipandang inferior. Realitas atas, sakral (surga) adalah yang superior dan realitas bawah (dunia) yang dianggap lebih inferior.

Pandangan ini menghasilkan pandangan dunia yang dikotomis: ada kategori suci yang dilwankan dengan sekular; doa dilawankan dengan bekerja; doa dilawankan dengan belajar; rohani dilawankan dengan jasmani; sakral dilawankan dengan profan. Konsekuensi dari cara pandang seperti ini mengakibatkan ada kecenderungan memisahkan kehidupan iman pribadi dari masalah-masalah kehidupan sehari-hari. Hasilnya seseorang bisa rajin berdoa tapi malas belajar dan bekerja; juara dalam soal ibadah namun sebaliknya memble dalam soal prestasi; getol membaca Alkitab namun ngantuk ketika membaca buku; pelayanan hanya dikaitkan dengan mimbar Gereja. Misalnya kotbah adalah pelayanan namun mencangkul bukan termasuk pelayanan, memimpin pujian adalah pelayanan namun jaga parkir dianggap bukan pelayanan, menjadi pendeta adalah pelayanan namun menjadi politikus adalah hal yang duniawi, sekuler. Pandangan dikhotomis ini membentuk suatu mata rantai yang menghasilkan kehidupan spiritualitas serba dikhotomis (lihat bagan 2). Pandangan semacam ini oleh Brown disebut dengan “Kesesatan Agung” (the Great Fallacy) (Wardaya, 1995:25). Mengapa? Ini jelas karena perhatian Allah itu sendiri bukan kepada surga-Nya, melainkan kepada dunia. Anak-Nya yang tunggal diberikan bagi dunia bukan bagi surga.


Bagan 2

Mata Rantai Spiritualitas Dikhotomis


2. Ketakutan yang Berlebih-lebihan terhadap Paham Social Gospel

Paham Injil Sosial atau Social Gospel sering dimengerti tumpang tindih dengan pelayanan sosial. Reaksi dan protes keras atas munculnya paham Social Gospel telah membuat kaum fundamentalis memberontak pula terhadap kewa­jiban sosial Kristen. Carl F.H. Henry mengatakan:

Sementara Injil yang bersifat mene­bus dahulu merupakan pesan yang mengubah dunia, kini ia dipersempit menjadi pesan yang menolak dunia … Fundamentalisme dalam pemberon­takan­nya melawan Injil Sosial tam­paknya juga memberontak terhadap kewajiban sosial Kristen. … Ia tidak menentang ketidakadilan-ketidak­adilan dari totalitarianisme, sekulerisme pen­didikan modern, kejahatan-kejahatan dari kebencian rasial, kesalahan-kesa­lahan dalam hubungan-hubungan anta­ra pekerja-pemilik di masa kini, dan dasar-dasar yang tidak memadai dalam hubungan-hubungan interna­sional” (Bosch, 1997:619).

Untuk itu perlu mengembangkan teologi atau ajaran Kristen yang mendorong bagi keterlibatan Gereja dalam proses transformasi sosial kepada Masyarakat. Mengapa ini penting? Karena,

1. Allah adalah Allah Yang Pathos

Allah dalam Perjanjian Lama tidaklah seperti dewa-dewa Yunani yang sering dilukiskan dengan kata apatheia (berjarak, ketidakpedulian) atau juga Allah dalam pandangan Deisme. Sebaliknya, Allah dalam Perjanjian Lama adalah Allah yang memiliki pathos (aktif, peduli, terlibat). Ia adalah Allah yang begitu dekat dengan manusia, yang memasang kemah-Nya di tengah-tengah kemah umat-Nya (Im. 26:11). Allah yang ber-pathos itu adalah Allah yang hadir dan aktif persis di tengah-tengah peristiwa-peristiwa yang sedang terjadi di dunia. Ia memihak minoritas Yahudi di hadapan kemahakuasaan Firaun (Kel. 12:40-41); menguatkan seorang anak desa pemetik buah ara bernama Amos untuk pergi ke kota Bethel, mengecam pemerintah yang menipu kaum miskin dan tertindas (Am. 7:14-15); mendesak setiap orang berkecukupan agar tidak menindas para janda dan yatim piatu (Za. 7:10); mengutus Nathan untuk menghadap Raja Daud dan mengingatkannya akan dosa zina yang telah diperbuatnya (2 Sam. 12:1-25). Allah selalu menghendaki manusia melibatkan diri di tengah dunia yang penuh dosa ini, yang membutuhkan kata dan tindakan-tindakan penyembuhan (Wardaya, 1995:45).

2. Allah yang Mengasihi Dunia

Melihat dunia yang jahat, korup dan dengan istilah sekarang dunia yang penuh dengan pelecehan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, dunia yang penuh dengan KKN, bahkan dunia yang tidak mengenal dan menolak yang menciptakannya. “Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan olehNya, tetapi dunia tidak mengenalNya. Ia datang kepada milik kepunyaanNya, tetapi orang-orang kepunyaanNya itu tidak menerimaNya” (Yoh. 1:10-11). Melihat kenyataan ini, Allah tidak menjauhi dunia, bahkan sebaliknya Dia memberikan anak-Nya untuk dunia (Yoh. 3:16-19). Karena itu, tugas orang Kristen bukan memisahkan diri dari dunia, tetapi berperan serta dalam usaha Allah untuk mendatangkan keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan ke dalam dunia. Kita perlu hidup dalam dunia, tetapi bukan dari dunia (Yoh. 17:16). Kita jangan menjadi serupa dengan dunia ini (Rm. 12:2), namun kita diutus ke dalam dunia oleh Kristus, sama seperti Ia diutus ke dalam dunia oleh Allah Bapa (Yoh. 17:15) (Brownlee, 1993:6). Seperti yang dinyatakan oleh Hahn Been Lee bahwa gereja harus menjadi camada yaitu change agent, modernizing agent and development agent (Utomo, 1998:188).

Hanya dengan kemampuan memahami kehidupan secara holistis dan kemampuan memahami teks suci secara holistis maka kita bisa menjadikan ayat-ayat kitab suci menjadi mantra yang sakti bagi daya dorong untuk proses perubahan sosial.

Tidak ada komentar: